Sistem Pemerintahan Otoriter: Kunci Keberhasilan atau Ancaman bagi Demokrasi?
Sistem Pemerintahan Otoriter: Kunci Keberhasilan atau Ancaman bagi
Demokrasi?
Penulis
Sumarta (Akang
Marta)
Sistem pemerintahan otoriter yang diterapkan di China memiliki karakteristik
yang sangat berbeda dibandingkan dengan sistem demokrasi liberal yang banyak
dianut oleh negara-negara Barat. Secara umum, pemerintahan otoriter lebih
menekankan pada kekuatan sentral yang terpusat, di mana keputusan-keputusan
politik dan ekonomi ditentukan oleh sekelompok kecil elit yang memegang
kekuasaan, tanpa banyak melibatkan partisipasi publik atau kontrol langsung
oleh rakyat. China, dengan Partai Komunis China sebagai kekuatan dominan,
adalah contoh paling menonjol dari sistem ini, di mana kebijakan dan keputusan
negara diambil tanpa pengawasan langsung dari lembaga-lembaga independen atau
oposisi politik. Hal ini jelas bertentangan dengan sistem demokrasi liberal, di
mana transparansi, kebebasan berpendapat, dan pemilihan umum menjadi bagian
dari mekanisme pemerintahan yang dijalankan.
Keberhasilan sistem otoriter di China telah menarik perhatian banyak
pengamat global. Di era pasca-Perang Dingin, banyak pihak menganggap bahwa
dunia sedang bergerak menuju sistem pemerintahan demokratis, sesuai dengan
prediksi Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History (1992).
Dalam bukunya, Fukuyama mengklaim bahwa demokrasi liberal akan menjadi titik
akhir evolusi politik manusia dan bahwa negara-negara akan mengikuti jalur ini
sebagai model pemerintahan yang final. Namun, kenyataannya, negara-negara
seperti China, Rusia, dan Korea Utara telah menunjukkan bahwa pemerintahan
otoriter masih memiliki daya tarik dan relevansi di abad 21, bahkan dapat
menciptakan stabilitas politik dan kemajuan ekonomi yang signifikan.
China adalah contoh nyata bagaimana pemerintahan otoriter, meskipun
seringkali dikritik di dunia Barat, dapat menghasilkan kemajuan luar biasa
dalam bidang ekonomi dan stabilitas sosial. Sejak era Deng Xiaoping pada akhir
1970-an, China telah melaksanakan reformasi ekonomi besar-besaran yang mengarah
pada transformasi negara ini menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia. Meski
menghadapi berbagai tantangan domestik dan internasional, model otoriter yang
diterapkan oleh Partai Komunis China memungkinkan negara ini untuk menjalankan
kebijakan pembangunan yang terencana, konsisten, dan tidak terganggu oleh
pergantian kepemimpinan yang sering terjadi dalam sistem demokrasi.
Keberhasilan ekonomi China, yang mencakup pengurangan kemiskinan secara signifikan
dan pertumbuhan kelas menengah yang pesat, menunjukkan bahwa pemerintahan
otoriter dapat membawa kemajuan yang substantif tanpa harus mengadopsi sistem
demokrasi liberal.
Namun, meskipun ada keberhasilan ekonomi yang jelas, sistem pemerintahan otoriter
di China tetap mendapat kritik serius, terutama dari negara-negara Barat dan
organisasi internasional. Kritik utama terfokus pada pelanggaran hak asasi
manusia dan tidak adanya kebebasan politik bagi warga negara. Tidak adanya
kebebasan pers, pembatasan terhadap oposisi politik, dan penindasan terhadap
kelompok-kelompok minoritas menjadi sorotan utama dalam evaluasi terhadap
sistem ini. Kritikus juga berargumen bahwa meskipun stabilitas politik
tercipta, hal ini datang dengan harga yang mahal dalam bentuk pembatasan
hak-hak dasar individu dan ketidakmampuan masyarakat untuk menuntut perubahan
melalui mekanisme yang sah seperti pemilihan umum. Hal ini, menurut para
pengkritik, dapat mengarah pada ketidakadilan sosial dan ketimpangan yang
semakin melebar antara elit yang berkuasa dan masyarakat biasa.
Sementara itu, di sisi lain, banyak pendukung sistem otoriter berpendapat
bahwa kekuatan yang terkonsentrasi di tangan pemerintah memungkinkan negara
untuk merespons tantangan dengan cepat dan efisien. Keputusan-keputusan yang
diambil dalam sistem ini tidak terhambat oleh perdebatan panjang atau oposisi
yang dapat menghambat proses pengambilan keputusan. Selain itu, stabilitas
politik yang tercipta dalam jangka panjang memungkinkan investasi asing dan
kebijakan pembangunan yang lebih terarah. Di China, ini tercermin dalam
kebijakan-kebijakan besar seperti Belt and Road Initiative dan Made in China
2025 yang bertujuan untuk meningkatkan pengaruh global negara tersebut melalui
pembangunan infrastruktur dan kemajuan teknologi. Dengan demikian, beberapa
pihak berpendapat bahwa pemerintahan otoriter dapat menjadi sistem yang efektif
dalam menciptakan kemakmuran ekonomi dan memperkuat posisi internasional.
Meskipun demikian, pertanyaan besar yang muncul adalah apakah sistem
otoriter ini akan tetap berkelanjutan dalam jangka panjang. Walaupun model ini
telah berhasil membawa China ke posisi yang sangat kuat dalam ekonomi global,
ketegangan internal yang terus berkembang—seperti ketidakpuasan sosial,
ketimpangan ekonomi, dan ketidaksetaraan—dapat menjadi faktor yang mengancam
kestabilan. Selain itu, tantangan dari luar, seperti kritik internasional
terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan ketegangan perdagangan dengan
negara-negara besar, dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan sistem
pemerintahan otoriter di China. Dalam hal ini, pemerintahan yang tidak terbuka
terhadap perubahan dan kritik eksternal bisa saja menghadapi risiko besar,
terutama jika ketegangan ini mempengaruhi legitimasi pemerintah di mata rakyat.
Dengan semua pertimbangan ini, China dan negara-negara dengan sistem
pemerintahan otoriter lainnya harus menghadapi dilema antara menjaga stabilitas
dalam negeri dan menghadapi tuntutan untuk lebih menghormati hak asasi manusia
serta memberikan kebebasan politik. Meskipun sistem otoriter dapat membawa
stabilitas dan kemajuan dalam jangka pendek, tantangan jangka panjang dalam
mempertahankan legitimasi politik dan kesejahteraan sosial yang adil akan menjadi
ujian berat. Pemerintahan otoriter mungkin bisa menjadi kunci keberhasilan
dalam konteks tertentu, namun jika tidak hati-hati, ia juga bisa menjadi
ancaman serius bagi demokrasi dan kebebasan individu di masa depan.