Skenario Tuhan di Tengah Politik

Skenario Tuhan di Tengah Politik



Keyakinan terhadap peran Tuhan dalam politik menjadi landasan utama bagi kandidat ini dalam menghadapi setiap tantangan Pilkada. Ia meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi, termasuk hasil pemilihan, adalah bagian dari skenario Tuhan yang sudah dirancang dengan sempurna. Keyakinan ini memperlihatkan pandangan teologis yang kuat, yang menurut Tillich (1957) menghubungkan dimensi keberadaan manusia dengan realitas ilahi. Baginya, menerima hasil Pilkada dengan lapang dada adalah wujud kepasrahan terhadap kehendak Tuhan yang mutlak.

Dalam pandangannya, ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan sering kali mencerminkan kurangnya keimanan terhadap skenario Tuhan. Ia mengingatkan pendukungnya bahwa kekecewaan bukanlah sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi hasil yang tidak sesuai harapan. “Kalau kita kecewa, berarti kita menentang keputusan Tuhan,” katanya. Hal ini menegaskan pentingnya nilai keikhlasan dalam menghadapi perubahan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Ghazali dalam konsep tawakkul atau berserah diri kepada Allah (Al-Ghazali, 2001).

Kandidat ini percaya bahwa ikhlas menerima hasil Pilkada adalah bentuk penghormatan terhadap kehendak Tuhan. Menurutnya, menerima apa adanya tidak berarti menyerah, tetapi justru merupakan langkah maju untuk memahami hikmah di balik setiap peristiwa. Dalam konteks politik, pandangan ini relevan dengan teori etika keutamaan oleh Aristoteles, yang menekankan pentingnya kebajikan seperti kesabaran dan kerendahan hati dalam menjalani kehidupan (Aristoteles, 2004).

Ia juga menekankan bahwa politik bukan hanya soal kemenangan, tetapi juga tentang pelajaran hidup. Baginya, setiap kekalahan adalah cara Tuhan untuk memberikan pelajaran berharga yang mungkin tidak terlihat pada awalnya. Perspektif ini sejalan dengan pandangan Viktor Frankl (2006), yang menyatakan bahwa makna hidup sering kali ditemukan dalam respons seseorang terhadap penderitaan atau tantangan. Dalam hal ini, Pilkada bukan sekadar kontestasi, tetapi juga ajang pembelajaran spiritual.

Kandidat ini menekankan bahwa hasil Pilkada tidak hanya mencerminkan kehendak Tuhan, tetapi juga menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ia mendorong pendukungnya untuk melihat hasil pemilihan sebagai bagian dari perjalanan iman. Hal ini mengingatkan pada konsep teologi politik oleh Carl Schmitt (2005), yang menekankan bahwa elemen spiritual sering kali memainkan peran penting dalam membentuk dinamika politik. Dengan pandangan ini, ia mengajak masyarakat untuk merenungkan peran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.

Dalam pidatonya, ia mengingatkan bahwa kemenangan sejati bukanlah memenangkan kursi kekuasaan, melainkan mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurutnya, seorang pemimpin harus memiliki landasan moral yang kuat dan tidak tergoda oleh kekuasaan. Hal ini sejalan dengan pandangan Max Weber (1946) tentang etika tanggung jawab, di mana seorang pemimpin harus memiliki komitmen moral untuk melayani masyarakat. Dengan demikian, kepercayaan pada skenario Tuhan menjadi pedoman utama bagi kandidat ini dalam menjalani karier politiknya.

Kandidat ini juga menekankan bahwa ikhlas menerima kekalahan adalah bagian dari proses mendewasakan diri. Baginya, kekalahan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan baru yang lebih bermakna. Perspektif ini relevan dengan teori pertumbuhan post-trauma oleh Tedeschi dan Calhoun (2004), yang menyatakan bahwa pengalaman sulit dapat menjadi titik awal untuk berkembang menjadi individu yang lebih bijaksana dan kuat. Dalam konteks Pilkada, pandangan ini menunjukkan optimisme yang mendalam.

Ia percaya bahwa setiap keputusan Tuhan membawa hikmah yang lebih besar, meskipun tidak langsung terlihat. Dalam pandangannya, kemenangan atau kekalahan dalam Pilkada harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Pendekatan ini sesuai dengan pemikiran Thomas Aquinas (1981), yang mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia harus diarahkan pada tujuan akhir, yaitu kebaikan tertinggi yang ditentukan oleh Tuhan. Dengan cara ini, kandidat ini mengarahkan pendukungnya untuk fokus pada nilai-nilai spiritual daripada hasil duniawi.

Kepercayaan kandidat ini terhadap skenario Tuhan juga memengaruhi cara ia memandang kampanye politik. Baginya, strategi politik harus didasarkan pada nilai-nilai moral dan kejujuran, bukan pada manipulasi atau janji kosong. Hal ini mencerminkan prinsip-prinsip etika politik yang dijelaskan oleh Kant (1993), yang menekankan pentingnya keadilan dan kebenaran dalam setiap tindakan politik. Dengan demikian, ia berharap dapat memberikan teladan yang baik bagi masyarakat.

Ia juga mengingatkan bahwa politik bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dalam pandangannya, seorang pemimpin harus selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Perspektif ini sesuai dengan pandangan John Locke (1980) tentang kontrak sosial, yang menyatakan bahwa kekuasaan politik harus digunakan untuk melindungi hak dan kesejahteraan masyarakat. Dengan pandangan ini, ia berharap dapat menginspirasi pemimpin lain untuk mengikuti jejaknya.

Kandidat ini menegaskan bahwa kepercayaan pada skenario Tuhan memberikan kekuatan untuk tetap teguh dalam menghadapi tantangan politik. Ia mengingatkan bahwa perjalanan politik sering kali penuh dengan rintangan, tetapi dengan keyakinan pada Tuhan, segala sesuatu dapat diatasi. Hal ini sesuai dengan pandangan Reinhold Niebuhr (1952) dalam teologi moral, yang menyatakan bahwa iman memberikan kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian hidup. Dengan cara ini, ia mengajak pendukungnya untuk tetap optimis dan percaya pada rencana Tuhan.

Sebagai penutup, kandidat ini mengajak masyarakat untuk melihat Pilkada sebagai bagian dari skenario Tuhan yang lebih besar. Ia berharap bahwa kepercayaan pada Tuhan dapat memberikan ketenangan dan kebijaksanaan dalam menghadapi setiap hasil pemilihan. Baginya, politik bukanlah tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana kita menjalani prosesnya dengan integritas dan keikhlasan. Dengan demikian, ia berharap dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat dan menciptakan masa depan yang lebih baik.

Kontributor

Sumarta Indramayutradisi.com

 

Referensi:

·         Al-Ghazali. (2001). The Alchemy of Happiness. London: Kazi Publications.

·         Aquinas, T. (1981). Summa Theologica. Notre Dame: Christian Classics.

·         Aristoteles. (2004). Nicomachean Ethics. Cambridge: Cambridge University Press.

·         Frankl, V. (2006). Man's Search for Meaning. Boston: Beacon Press.

·         Kant, I. (1993). Groundwork of the Metaphysics of Morals. Cambridge: Cambridge University Press.

·         Locke, J. (1980). Second Treatise of Government. Indianapolis: Hackett Publishing.

·         Niebuhr, R. (1952). The Irony of American History. New York: Scribner.

·         Official iNews. (28 November 2024) Sebut Skenario Tuhan, Dharma Pongrekun Puji Pramono-Rano Penolong. https://www.youtube.com/@OfficialiNews

·         Schmitt, C. (2005). Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty. Chicago: University of Chicago Press.

·         Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2004). Posttraumatic Growth: Conceptual Foundations and Empirical Evidence. Psychological Inquiry, 15(1), 1–18.

·         Tillich, P. (1957). Dynamics of Faith. New York: Harper & Row.

·         Weber, M. (1946). From Max Weber: Essays in Sociology. New York: Oxford University Press.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel