Survei dan Fakta: Masyarakat dan Politik Uang
Survei dan Fakta: Masyarakat dan Politik Uang
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Kuatnya pengaruh politik uang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan pemilu
di Indonesia bukanlah fenomena yang muncul secara kebetulan, melainkan suatu
kenyataan yang diperkuat oleh sejumlah data dan penelitian. Berdasarkan kajian
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sekitar 95,5%
keberhasilan dalam pemilu atau Pilkada dipengaruhi oleh kekuatan uang. Artinya,
uang menjadi faktor dominan dalam menentukan siapa yang akan memenangkan
kontestasi politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun ada berbagai faktor
lain yang dapat memengaruhi hasil pemilihan, kekuatan finansial yang dimiliki
calon pemimpin sangat menentukan dalam mempengaruhi pilihan pemilih. Hal ini
juga menggambarkan bagaimana politik uang sudah merasuk jauh ke dalam sistem
demokrasi Indonesia dan membuatnya sulit untuk dihilangkan, bahkan meskipun ada
upaya-upaya untuk memberantasnya.
Namun, meskipun uang memiliki peranan besar dalam menentukan hasil pemilu,
fakta yang lebih mencengangkan justru datang dari survei yang dilakukan oleh
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2019. Survei tersebut
mengungkapkan bahwa 40% responden mengaku menerima uang dari peserta pemilu
atau Pilkada, namun mereka tidak mempertimbangkan untuk memilih calon yang
memberi imbalan tersebut. Ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara
pengaruh uang terhadap proses pemilihan dan kesadaran masyarakat akan
pentingnya memilih berdasarkan kualitas calon, bukan semata-mata imbalan
finansial. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah terbiasa dengan
praktik politik uang, tetapi banyak yang menyadari bahwa imbalan yang diberikan
tidaklah cukup untuk menggugah mereka untuk memilih tanpa pertimbangan lebih
lanjut.
Fakta tersebut menyoroti adanya kelemahan serius dalam edukasi politik di
kalangan masyarakat Indonesia. Masyarakat belum sepenuhnya memahami pentingnya
menggunakan hak pilih mereka dengan cara yang bertanggung jawab dan berdasarkan
pertimbangan rasional, seperti kualitas, rekam jejak, dan visi misi calon
pemimpin. Sebaliknya, ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman tentang politik
yang sehat justru membuat mereka rentan terhadap tawaran politik uang. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun Indonesia memiliki sistem demokrasi, keberhasilan
sistem tersebut sangat bergantung pada peningkatan kesadaran dan edukasi
politik yang harus dimulai sejak dini. Tanpa adanya pemahaman yang cukup,
masyarakat akan terus terjebak dalam pola politik uang yang menghambat
perkembangan demokrasi.
Di sisi lain, meskipun survei LIPI menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang
menerima uang tanpa mempertimbangkan pilihan mereka, hal ini juga
mengindikasikan adanya kesadaran yang lebih tinggi terhadap pentingnya memilih
secara cerdas. Meskipun tidak semua orang memilih calon berdasarkan uang yang
diterima, fenomena ini menjadi pengingat bagi pemerintah, partai politik, dan
calon pemimpin untuk lebih meningkatkan upaya dalam memberikan pemahaman yang
lebih baik kepada masyarakat mengenai hak pilih dan dampaknya terhadap masa
depan negara. Oleh karena itu, reformasi dalam pendidikan politik yang lebih
luas dan efektif sangat diperlukan, agar masyarakat bisa lebih kritis dalam
memilih pemimpin dan tahu bagaimana memilih secara bijak dan bebas dari
pengaruh uang.
Relevansi temuan-temuan ini sangat penting untuk menggugah kesadaran publik
dan mengubah paradigma politik uang yang telah lama membelenggu demokrasi
Indonesia. Dengan meningkatnya edukasi politik, pemilih akan lebih menghargai
proses demokrasi dan mengutamakan nilai-nilai yang lebih penting daripada
sekadar imbalan materi. Untuk itu, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah,
masyarakat, dan lembaga pendidikan untuk menciptakan suasana yang mendukung
integritas dalam pemilu. Melalui pendekatan yang lebih mendalam, pemilihan umum
di masa depan diharapkan akan lebih bersih, transparan, dan berorientasi pada
kualitas calon pemimpin, bukan pada kekuatan finansial semata.