Tantangan dan Realitas Politik Indonesia dalam Dinamika Pilkada Serentak
Tantangan dan Realitas Politik Indonesia dalam Dinamika Pilkada Serentak
Pilkada serentak yang melibatkan koalisi besar seperti KIM Plus telah
membawa sejumlah keberhasilan, tetapi juga mengungkap tantangan mendasar dalam
sistem politik Indonesia. Salah satu tantangan utama adalah rendahnya kesadaran
politik masyarakat di banyak daerah. Praktik politik uang, yang terus berulang
dari waktu ke waktu, menjadi cerminan dari dinamika sosial-ekonomi yang belum
stabil. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat yang terdesak oleh kebutuhan
ekonomi sering kali memprioritaskan keuntungan jangka pendek dibandingkan
nilai-nilai demokrasi yang ideal (Aspinall & Berenschot, 2019).
Di berbagai daerah, politik uang menjadi alat utama dalam memenangkan suara.
Praktik ini tidak hanya memperburuk korupsi, tetapi juga melemahkan integritas
proses demokrasi. Hal ini memperlihatkan bahwa tantangan terbesar bagi
demokrasi Indonesia adalah membangun masyarakat yang lebih kritis dan sadar
akan pentingnya memilih pemimpin berdasarkan visi dan kemampuan, bukan sekadar
imbalan materi. Pendidikan politik yang efektif menjadi kebutuhan mendesak
dalam mengatasi permasalahan ini (Mietzner, 2020).
DKI Jakarta, sebagai ibu kota negara, memberikan contoh yang kontras
dibandingkan daerah lain. Dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang
relatif lebih baik, masyarakat Jakarta memiliki daya kritis yang lebih tinggi
terhadap praktik-praktik politik uang. Kota ini mencerminkan bagaimana
masyarakat yang memiliki akses terhadap informasi yang baik dapat menjadi
penghalang bagi politik transaksional. Namun, penting untuk dicatat bahwa
Jakarta adalah pengecualian, bukan representasi dari kondisi mayoritas daerah
di Indonesia (Warburton, 2021).
Di luar Jakarta, banyak daerah masih terjebak dalam struktur politik yang
sangat dipengaruhi oleh oligarki lokal. Struktur ini memperlihatkan bagaimana
elit politik menggunakan jaringan patronase untuk mempertahankan kekuasaan.
Praktik ini tidak hanya menciptakan ketimpangan kekuasaan, tetapi juga
membatasi partisipasi masyarakat dalam proses politik. Reformasi politik yang
lebih mendalam diperlukan untuk membebaskan daerah-daerah ini dari dominasi
oligarki lokal (Hadiz, 2017).
Salah satu aspek penting dari tantangan politik Indonesia adalah
keterbatasan oposisi yang efektif. Dengan koalisi besar seperti KIM Plus yang
mendominasi, ruang untuk partai-partai oposisi menjadi semakin sempit. Hal ini
berpotensi melemahkan fungsi check and balance yang esensial dalam demokrasi.
Ketergantungan yang tinggi pada koalisi besar juga menciptakan risiko
homogenitas politik, yang pada akhirnya dapat merugikan pluralitas ide dalam
pemerintahan (Tomsa, 2023).
Tantangan lainnya adalah rendahnya partisipasi politik di kalangan generasi
muda. Generasi ini sering kali dianggap apatis terhadap politik karena
kurangnya kepercayaan pada institusi politik. Padahal, partisipasi mereka
sangat penting dalam menciptakan perubahan positif di masa depan. Upaya untuk
melibatkan generasi muda, baik melalui media sosial maupun pendidikan politik,
perlu diperkuat untuk membangun generasi pemimpin yang lebih bertanggung jawab
(Aspinall, 2014).
Pilkada serentak juga memperlihatkan bahwa isu-isu sosial seperti
pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat sering kali terpinggirkan
dalam kampanye politik. Banyak kandidat yang lebih fokus pada janji-janji
populis daripada menawarkan solusi nyata untuk permasalahan sosial. Akibatnya,
politik menjadi sekadar alat untuk mendapatkan kekuasaan, bukan untuk melayani
masyarakat. Ini menjadi tantangan besar dalam menciptakan politik yang
berorientasi pada kebutuhan rakyat (Warburton, 2021).
Isu gender juga masih menjadi tantangan signifikan dalam politik Indonesia.
Representasi perempuan dalam politik masih sangat rendah, meskipun sudah ada
kebijakan afirmasi seperti kuota 30% untuk perempuan dalam pencalonan
legislatif. Rendahnya partisipasi perempuan ini mencerminkan hambatan struktural
dan budaya yang masih kuat, yang perlu diatasi melalui pendidikan gender dan
penguatan kapasitas perempuan dalam politik (Mietzner, 2019).
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah kurangnya akuntabilitas
politik. Banyak kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada sebelumnya terjerat
kasus korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan terhadap pemimpin
daerah masih lemah. Reformasi dalam mekanisme pengawasan, baik oleh lembaga
negara maupun masyarakat, menjadi langkah penting untuk memastikan integritas
pemimpin terpilih (Hadiz, 2017).
Dalam konteks global, Indonesia juga menghadapi tantangan geopolitik yang
memengaruhi politik domestiknya. Ketegangan di Laut Cina Selatan, misalnya,
memerlukan kepemimpinan yang mampu menjaga kedaulatan nasional sekaligus
menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga. Politik domestik yang
stabil menjadi prasyarat bagi Indonesia untuk memainkan peran yang lebih besar
di kancah internasional (Tomsa, 2023).
Keberhasilan koalisi KIM Plus dalam Pilkada serentak menunjukkan bahwa kerja
sama politik yang luas dapat menciptakan stabilitas. Namun, stabilitas ini
hanya akan bertahan jika didukung oleh kebijakan yang berorientasi pada
kepentingan masyarakat. Tanpa itu, dominasi politik dapat berubah menjadi
otoritarianisme terselubung, yang justru merusak fondasi demokrasi. Oleh karena
itu, keseimbangan antara stabilitas dan kebebasan politik menjadi tantangan
besar yang harus dihadapi Indonesia (Aspinall & Berenschot, 2019).
Pilkada serentak telah menjadi cerminan kompleksitas politik Indonesia.
Meski banyak tantangan, momen ini juga memberikan peluang untuk memperbaiki
sistem politik yang ada. Dengan reformasi yang tepat, Indonesia memiliki
potensi untuk menjadi negara demokrasi yang lebih matang dan responsif terhadap
kebutuhan rakyatnya. Tantangan ini harus dihadapi dengan komitmen bersama untuk
menciptakan sistem politik yang inklusif dan berkeadilan (Warburton, 2021).
Kontributor
Sumarta
Referensi:
Aspinall, E. (2014). Electoral
dynamics in Indonesia: Money politics, patronage and clientelism at the
grassroots. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections,
clientelism, and the state in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University
Press.
Hadiz, V. R. (2017). Islamic populism in Indonesia and the Middle East.
Cambridge: Cambridge University Press.
Mietzner, M. (2019). Authoritarian innovations in Indonesia’s democratic
decline. Democratization, 26(1), 16-31.
Mietzner, M. (2020). Political polarization and democratic resilience in
Indonesia. Asian Affairs, 51(2), 241-264.
Nusantara TV. (30 Nov 2024)
Peta Politik Indonesia, Saiful SMRC: Prabowo Pengin Banget Bareng Bu Mega, Tapi
Mega Nggak!. https://nusantaratv.com/
Tomsa, D. (2023). Indonesia
under Jokowi: Between populism and technocracy. Journal of Current
Southeast Asian Affairs, 42(3), 23-47.
Warburton, E. (2021). Developmentalism and democracy in Indonesia:
Reshaping the political order. The Pacific Review, 34(1), 123-144.