Tantangan Etika Seorang Pejabat Publik: Menjaga Lisan dan Tanggung Jawab Moral
Tantangan Etika Seorang Pejabat Publik: Menjaga Lisan dan Tanggung Jawab Moral
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Sebagai pejabat publik, Gus Miftah menghadapi tanggung jawab yang jauh lebih
besar dalam menjalankan perannya, baik sebagai penceramah agama maupun sebagai
utusan khusus presiden untuk bidang kerukunan beragama dan sarana keagamaan.
Posisi ini memberi dampak yang sangat luas, karena tidak hanya memberikan
pengaruh terhadap masyarakat, tetapi juga mengharuskan seorang pejabat untuk
menjaga standar moral yang tinggi. Seorang pejabat publik harus menyadari bahwa
setiap kata dan tindakan mereka tidak hanya tercatat dalam sejarah, tetapi juga
mendapat sorotan tajam dari publik. Tanggung jawab ini menjadikan mereka tidak
hanya sebagai individu yang bekerja untuk negara, tetapi juga sebagai contoh
bagi masyarakat dalam hal etika dan perilaku yang baik. Oleh karena itu,
menjaga lisan dan bertindak sesuai dengan norma yang berlaku sangat penting,
terutama bagi seorang penceramah yang tidak hanya berbicara tentang agama
tetapi juga menjadi panutan bagi banyak orang.
Sebagai seorang penceramah yang juga memegang jabatan publik, Gus Miftah
diharapkan dapat menunjukkan keteladanan dalam hal etika. Menjaga lisan adalah
bagian integral dari ajaran agama Islam, yang mengajarkan pentingnya berbicara
dengan baik dan tidak sembarangan mengucapkan kata-kata yang bisa merugikan
orang lain. Rasulullah SAW telah menekankan bahwa lisan yang tidak terjaga
dapat mematikan hati, karena kata-kata yang tidak baik dapat merusak hubungan
antar sesama dan menimbulkan perpecahan. Dalam konteks ini, seorang penceramah
seperti Gus Miftah diharapkan untuk tidak hanya menyampaikan pesan agama dengan
bijaksana, tetapi juga harus berhati-hati dalam memilih kata-kata yang
disampaikan kepada publik. Humor yang digunakan dalam ceramah, meskipun
dimaksudkan untuk mencairkan suasana, tetap harus disampaikan dengan hati-hati
agar tidak melukai perasaan orang lain atau merendahkan martabat seseorang.
Sebagai seorang pejabat publik, Gus Miftah memiliki dua peran yang perlu
dijalankan dengan seimbang: sebagai pemimpin agama dan sebagai pejabat yang
terikat oleh etika dan regulasi negara. Ketika seseorang memegang jabatan
publik, mereka tidak hanya mewakili dirinya sendiri tetapi juga institusi yang
mereka wakili. Oleh karena itu, pernyataan atau tindakan yang diambil bisa
mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap instansi yang mereka pimpin. Dalam
hal ini, Gus Miftah tidak hanya berperan sebagai penceramah yang mengajarkan
agama, tetapi juga sebagai pejabat yang seharusnya memancarkan sikap
profesionalisme dan tanggung jawab. Apabila seorang pejabat publik gagal
menjaga etika dan moralitas, dampaknya bisa jauh lebih besar, karena tindakan
tersebut dapat merusak kepercayaan publik terhadap kepemimpinan yang mereka
pegang. Kepercayaan adalah fondasi utama dalam menjalankan amanah sebagai
pejabat publik, dan ketika kepercayaan itu hilang, akan sangat sulit untuk
memulihkannya.
Tantangan yang dihadapi oleh Gus Miftah dalam menjalankan perannya sebagai
penceramah dan pejabat publik adalah menjaga keseimbangan antara kebebasan
berbicara dan menjaga etika. Sebagai penceramah, dia memiliki kebebasan untuk
menyampaikan pandangannya, tetapi kebebasan tersebut harus tetap terikat pada
nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Pernyataan atau lelucon yang
tidak etis, seperti yang sempat dilontarkan oleh Gus Miftah, dapat menimbulkan
reaksi publik yang keras, terutama di era digital yang memungkinkan segala
sesuatu tersebar dalam waktu singkat. Dalam situasi ini, seorang pejabat publik
seperti Gus Miftah perlu menunjukkan sikap bijaksana dengan meminta maaf jika
ada hal yang menyinggung pihak lain. Namun, permintaan maaf tersebut harus
dilakukan dengan tulus dan disertai dengan kesadaran penuh akan kesalahan yang
telah dilakukan, bukan hanya sebagai formalitas atau demi menghindari kritik.
Sebagai pejabat publik dan penceramah, Gus Miftah harus menyadari bahwa
setiap langkah dan kata-katanya diperhatikan oleh masyarakat. Sebagai seorang
tokoh agama, dia dituntut untuk menjadi teladan dalam berperilaku, tidak hanya
dalam hal keagamaan tetapi juga dalam hal sosial dan moral. Oleh karena itu,
penting bagi Gus Miftah untuk lebih berhati-hati dalam bertutur kata dan
berperilaku. Dalam Islam, menjaga lisan merupakan kewajiban yang harus dipegang
teguh oleh setiap umat, terutama bagi mereka yang berada di posisi yang
mempengaruhi banyak orang. Dalam hal ini, tugas Gus Miftah sebagai pejabat
publik adalah menunjukkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai agama, seperti
kesabaran, kerendahan hati, dan penghormatan terhadap orang lain. Melalui sikap
yang lebih bijaksana, dia tidak hanya akan memperbaiki citra pribadi, tetapi
juga dapat menjadi contoh bagi masyarakat dalam menjaga etika dan moral di era
digital yang semakin kompleks ini.