Tantangan Partai Politik dan Sistem Sentralistik

Tantangan Partai Politik dan Sistem Sentralistik



Sistem sentralistik dalam partai politik menjadi salah satu tantangan terbesar dalam demokrasi Indonesia, terutama dalam konteks pencalonan kepala daerah. Struktur partai yang mengutamakan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dalam menentukan kandidat sering kali mengabaikan aspirasi masyarakat di tingkat lokal. Keputusan ini mencerminkan pola politik yang lebih berorientasi pada kepentingan elit dibandingkan kebutuhan nyata masyarakat daerah. Norris (2020) mencatat bahwa sistem semacam ini berisiko menciptakan jarak antara pemilih dan partai, yang pada akhirnya dapat melemahkan legitimasi politik.

Kekecewaan terhadap sistem sentralistik ini juga terlihat dalam kampanye Pilkada. Dalam banyak kasus, kandidat yang diusung oleh partai pusat menghadapi kendala dalam memperoleh dukungan di tingkat lokal. Sebagai contoh, beberapa partai bahkan mengakui bahwa sumber daya untuk mendukung kampanye kandidat sering kali habis sebelum tahap akhir pemilu. Menurut Aspinall dan Berenschot (2019), kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah mencerminkan kelemahan dalam struktur partai yang terlalu hierarkis dan tidak responsif terhadap dinamika lokal.

Fenomena ini diperparah oleh persepsi masyarakat bahwa kandidat yang diusung lebih mencerminkan kepentingan elit daripada aspirasi publik. Masyarakat sering kali merasa bahwa calon yang diusung oleh partai adalah figur yang "diimpor" dari luar daerah atau tokoh yang tidak memiliki ikatan emosional dengan komunitas setempat. Hal ini menyebabkan alienasi politik, di mana masyarakat merasa tidak terwakili oleh sistem yang ada. Sebagaimana dijelaskan oleh Przeworski (2019), demokrasi yang terlalu dikendalikan oleh elite cenderung memicu ketidakpuasan publik, yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya tingkat partisipasi pemilih.

Dalam sistem sentralistik, potensi kandidat lokal yang sebenarnya memiliki dukungan kuat dari masyarakat sering kali terabaikan. Banyak tokoh lokal dengan rekam jejak baik tidak mendapat kesempatan untuk maju karena tidak memenuhi kriteria elit partai. Kondisi ini menciptakan paradoks dalam demokrasi lokal, di mana sistem yang seharusnya memberikan ruang bagi keterwakilan masyarakat justru membatasi partisipasi mereka. Downs (1957) menekankan bahwa pemilih akan cenderung bersikap apatis jika merasa bahwa kandidat yang tersedia tidak mencerminkan preferensi mereka.

Kekhawatiran lain yang muncul dari sistem sentralistik adalah kurangnya transparansi dalam proses seleksi kandidat. Prosedur pencalonan sering kali dilakukan secara tertutup, tanpa melibatkan masyarakat atau bahkan anggota partai di tingkat daerah. Menurut Tapsell (2020), hal ini menciptakan persepsi bahwa partai politik lebih memprioritaskan agenda internal mereka daripada mendengarkan kebutuhan masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas menjadi elemen yang hilang dalam sistem pencalonan saat ini, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi politik.

Selain itu, dominasi pusat dalam menentukan kandidat juga berimplikasi pada kualitas kampanye di daerah. Kandidat yang tidak memiliki akar kuat di masyarakat sering kali kesulitan membangun koneksi dengan pemilih lokal, sehingga kampanye menjadi kurang efektif. Norris (2020) mencatat bahwa keberhasilan kampanye politik tidak hanya bergantung pada sumber daya, tetapi juga pada kemampuan kandidat untuk menciptakan narasi yang relevan dengan konteks lokal. Ketidakmampuan kandidat untuk memahami dan merespons isu-isu lokal sering kali menjadi alasan utama kegagalan mereka dalam menarik dukungan pemilih.

Kondisi ini memunculkan tantangan besar bagi partai politik untuk mereformasi sistem pencalonan mereka. Desentralisasi politik yang diharapkan dapat memperkuat demokrasi lokal sering kali terhambat oleh struktur partai yang sentralistik. Aspinall dan Berenschot (2019) menekankan pentingnya memperkuat peran kader lokal dalam proses pencalonan untuk memastikan bahwa kandidat yang diusung benar-benar mewakili aspirasi masyarakat. Dengan memberikan lebih banyak kewenangan kepada tingkat daerah, partai politik dapat membangun hubungan yang lebih erat dengan pemilih dan meningkatkan legitimasi mereka.

Namun, reformasi sistem pencalonan tidak dapat dilakukan secara parsial. Dibutuhkan komitmen dari semua pihak, termasuk DPP partai, untuk membuka ruang bagi transparansi dan partisipasi publik. Menurut Przeworski (2019), partai politik yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat memiliki peluang lebih besar untuk mempertahankan dukungan publik dalam jangka panjang. Reformasi ini juga harus mencakup mekanisme yang memastikan bahwa keputusan partai tidak hanya didasarkan pada kepentingan elite, tetapi juga memperhitungkan aspirasi masyarakat luas.

Pada akhirnya, tantangan sistem sentralistik dalam partai politik mencerminkan perlunya perbaikan mendasar dalam mekanisme pencalonan di Indonesia. Dengan memperkuat hubungan antara pusat dan daerah, partai politik dapat menciptakan sistem yang lebih demokratis dan inklusif. Norris (2020) mencatat bahwa keberhasilan reformasi politik terletak pada kemampuan institusi untuk beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Oleh karena itu, partai politik di Indonesia perlu mengambil langkah berani untuk mengatasi kelemahan dalam sistem mereka, sehingga dapat membangun kepercayaan dan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.

Kontributor

Sumarta

Referensi

·         Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Cornell University Press.

·         Downs, A. (1957). An Economic Theory of Democracy. Harper and Row.

·         Norris, P. (2020). Why Elections Fail. Cambridge University Press.

·         Przeworski, A. (2019). Democracy and the Limits of Self-Government. Cambridge University Press.

·         Tapsell, R. (2020). Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution. Rowman & Littlefield.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel