Teknologi dan Informasi: Pedang Bermata Dua
Teknologi dan Informasi: Pedang Bermata Dua
Jakarta,
sebagai pusat urbanisasi dan digitalisasi di Indonesia, mencatat tingkat
penetrasi internet yang sangat tinggi. Dengan mayoritas penduduk memiliki akses
mudah ke informasi melalui perangkat pintar, Jakarta seharusnya menjadi contoh
ideal bagaimana teknologi dapat meningkatkan partisipasi politik. Dalam teori
demokrasi partisipatif, keterbukaan informasi merupakan elemen penting yang
dapat mendorong masyarakat untuk lebih aktif dalam proses politik (Dahl, 1989).
Namun, data menunjukkan fenomena yang bertolak belakang. Banyak pemilih yang
memiliki akses informasi luas justru memilih untuk tidak terlibat aktif,
mencerminkan krisis kepercayaan terhadap kandidat dan mekanisme politik.
Ketidakaktifan
ini mengindikasikan bahwa akses informasi tidak selalu berbanding lurus dengan
partisipasi. Menurut teori rational ignorance dari Downs (1957), pemilih dapat
dengan sengaja memilih untuk tidak terlibat jika mereka merasa bahwa keuntungan
dari partisipasi politik tidak sebanding dengan upaya yang harus dikeluarkan.
Di Jakarta, narasi politik yang sering kali diisi dengan retorika kosong dan
simbol-simbol klise semakin memperparah situasi ini. Masyarakat jenuh dengan
format kampanye yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka, sehingga
partisipasi politik menjadi semakin rendah.
Dalam
konteks ini, teknologi informasi berperan sebagai pedang bermata dua. Di satu
sisi, ia memberikan akses luas terhadap informasi, tetapi di sisi lain, ia juga
membuka peluang bagi manipulasi informasi. Jakarta, sebagai episentrum
informasi, tidak kebal terhadap fenomena ini. Penyebaran hoaks dan berita palsu
sering kali dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu
substantif. Menurut Sunstein (2018), echo chambers yang diciptakan oleh
algoritma media sosial memperburuk polarisasi politik, sehingga dialog publik
yang konstruktif menjadi sulit diwujudkan.
Penyebaran
hoaks tidak hanya mengurangi kualitas diskursus politik, tetapi juga
memengaruhi persepsi publik terhadap kandidat. Di Jakarta, hoaks sering
digunakan untuk menyerang lawan politik dengan cara yang tidak etis,
menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap sistem politik secara
keseluruhan. Situasi ini semakin diperburuk oleh kurangnya literasi digital di
kalangan masyarakat. Nielsen (2016) mencatat bahwa literasi digital yang rendah
membuat masyarakat lebih rentan terhadap manipulasi informasi, sehingga
mendorong apatisme politik.
Selain
itu, teknologi informasi juga telah mengubah cara kandidat berkomunikasi dengan
pemilih. Dalam beberapa tahun terakhir, kampanye politik di Jakarta lebih
banyak beralih ke platform digital. Meskipun strategi ini dapat menjangkau
audiens yang lebih luas, efektivitasnya sering dipertanyakan. Menurut Chadwick
(2013), kampanye digital yang berfokus pada citra dan popularitas sering kali
mengorbankan substansi, sehingga tidak mampu membangun hubungan yang bermakna
dengan pemilih. Akibatnya, masyarakat merasa semakin jauh dari proses politik.
Teknologi
juga menghadirkan tantangan dalam hal pengawasan pemilu. Di Jakarta, meskipun
teknologi telah digunakan untuk mempermudah pelaporan hasil suara, masalah
transparansi tetap menjadi perhatian utama. Misalnya, sistem yang kurang aman
dapat dimanipulasi oleh aktor-aktor tertentu untuk keuntungan politik. Hal ini
menunjukkan bahwa teknologi, meskipun memiliki potensi besar, tetap membutuhkan
regulasi dan pengawasan yang ketat untuk memastikan integritas proses demokrasi
(Morozov, 2011).
Namun,
tidak dapat disangkal bahwa teknologi juga memiliki potensi untuk memperbaiki
demokrasi. Di Jakarta, beberapa inisiatif telah dilakukan untuk meningkatkan
keterlibatan masyarakat melalui platform digital. Salah satu contohnya adalah
aplikasi pengaduan publik yang memungkinkan warga menyampaikan aspirasi mereka
secara langsung kepada pemerintah. Menurut Jenkins (2006), teknologi yang
digunakan secara bijak dapat menjadi alat yang efektif untuk memberdayakan
masyarakat dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah.
Di sisi
lain, tantangan utama tetap ada pada bagaimana teknologi digunakan. Jika hanya
digunakan untuk memperkuat status quo dan memanipulasi opini publik, maka
potensi positifnya tidak akan pernah terwujud. Jakarta, dengan segala
kompleksitasnya, membutuhkan pendekatan yang lebih inklusif dalam memanfaatkan
teknologi untuk kepentingan publik. Sebagaimana dijelaskan oleh Castells
(2012), teknologi harus menjadi alat untuk memperkuat masyarakat sipil, bukan
sekadar instrumen untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada
akhirnya, teknologi dan informasi adalah alat yang netral; dampaknya tergantung
pada bagaimana ia digunakan. Di Jakarta, penggunaan teknologi dalam politik
harus lebih berfokus pada pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kualitas
diskursus publik. Dengan literasi digital yang lebih baik dan regulasi yang
lebih ketat, teknologi dapat menjadi katalis bagi demokrasi yang lebih inklusif
dan partisipatif, bukan sekadar alat untuk mempertahankan dominasi elite
politik.
Kontributor
Sumarta
Referensi
·
Castells, M. (2012). Networks of Outrage and
Hope: Social Movements in the Internet Age. Polity Press.
·
Chadwick, A. (2013). The Hybrid Media System:
Politics and Power. Oxford University Press.
·
Dahl, R. A. (1989). Democracy and Its Critics.
Yale University Press.
·
Downs, A. (1957). An Economic Theory of
Democracy. Harper & Row.
·
Jenkins, H. (2006). Convergence Culture: Where
Old and New Media Collide. New York University Press.
·
Morozov, E. (2011). The Net Delusion: The Dark
Side of Internet Freedom. PublicAffairs.
·
Nielsen, R. K. (2016). The Changing Business of
Journalism and Its Implications for Democracy. Columbia University Press.
· Sunstein, C. R. (2018). #Republic: Divided
Democracy in the Age of Social Media. Princeton University Press.