Transformasi Ekonomi dan Budaya Lewat Terasi: Kisah Cakra Bumi dan Keberhasilan Produk Lokal
Transformasi
Ekonomi dan Budaya Lewat Terasi: Kisah Cakra Bumi dan Keberhasilan Produk Lokal
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Seiring
berkembangnya pemukiman di wilayah Lemah Wungkut, muncul berbagai kegiatan
ekonomi yang menggerakkan kehidupan masyarakat setempat. Salah satu tokoh yang
mulai aktif berperan dalam perubahan ini adalah Cakra Bumi, adik dari
Somadullah. Cakra Bumi memilih untuk menekuni profesi sebagai nelayan dengan
menangkap ikan dan udang kecil atau rebon di pantai menggunakan jaring dan
perahu kecil. Kegiatan ini tidak hanya memberikan mata pencaharian, tetapi juga
membuka peluang baru dalam pengolahan hasil laut yang kemudian membawa dampak
besar bagi ekonomi lokal. Cakra Bumi melihat potensi besar dalam udang rebon
yang melimpah di sekitar pesisir, dan berinisiatif untuk mengolahnya menjadi
produk yang bisa bertahan lebih lama dan lebih mudah didistribusikan, yaitu
terasi.
Proses
pembuatan terasi dimulai dengan pengeringan udang rebon yang telah ditangkap
oleh Cakra Bumi dan para nelayan lainnya. Udang-udang ini kemudian ditumbuk
dengan menggunakan alat sederhana hingga membentuk adonan yang padat. Setelah
itu, adonan terasi dibentuk menjadi gelondongan-gelondongan kecil yang siap
untuk dipasarkan. Terasi yang dihasilkan memiliki cita rasa yang khas dan
sangat digemari oleh masyarakat setempat. Produk ini menjadi salah satu
komoditas utama yang mendukung perekonomian wilayah Lemah Wungkut. Keunikan
rasa dan kualitas terasi yang diproduksi semakin lama semakin dikenal luas,
menarik perhatian berbagai kalangan untuk menikmati dan memperdagangkan produk
ini. Keberhasilan Cakra Bumi dalam mengolah udang rebon menjadi terasi telah
menjadikan wilayah ini sebagai pusat produksi terasi yang terkenal di daerah
tersebut.
Tidak
hanya terasi, air perasan rebon yang dimasak dengan bumbu khas juga diolah
menjadi petis, produk lain yang sangat disukai oleh masyarakat setempat. Proses
pembuatan petis ini memerlukan kesabaran dan ketelitian dalam memasak dan
mengaduk campuran bahan, sehingga menghasilkan petis dengan rasa yang kaya dan
tekstur yang kental. Petis ini menjadi hidangan pelengkap yang sering digunakan
dalam berbagai masakan, baik sebagai bumbu penyedap ataupun sebagai bahan dasar
dalam pembuatan makanan tradisional. Seiring berjalannya waktu, petis yang
dihasilkan semakin dikenal di luar wilayah Lemah Wungkut, memberikan dampak
positif terhadap pengembangan ekonomi masyarakat dan menjadi bagian dari
identitas budaya lokal yang kental. Keduanya, terasi dan petis, menjadi
komoditas utama yang menambah keberagaman produk lokal yang bisa dijadikan
andalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Keunikan
produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat Lemah Wungkut, khususnya terasi
dan petis, menarik perhatian dari pihak luar, termasuk Prabu Raja Galuh, yang
merupakan penguasa wilayah sekitar. Prabu Raja Galuh yang mendengar kabar
tentang keberhasilan para nelayan dalam mengolah rebon menjadi produk bernilai
tinggi, memutuskan untuk menjadikan terasi sebagai salah satu pajak tahunan
yang harus dipenuhi oleh setiap rumah tangga nelayan di kawasan tersebut.
Kebijakan ini dilakukan untuk memastikan bahwa produk lokal yang telah
berkembang pesat tersebut dapat terus diproduksi dan dinikmati oleh masyarakat,
sekaligus memberikan kontribusi terhadap pendapatan kerajaan. Dalam hal ini,
terasi bukan hanya menjadi komoditas ekonomi, tetapi juga simbol penting yang
menghubungkan kehidupan masyarakat lokal dengan sistem pemerintahan yang lebih
besar, mengokohkan posisi terasi sebagai produk yang bernilai tinggi dalam
konteks ekonomi lokal dan kerajaan.
Peraturan
pajak yang ditetapkan oleh Prabu Raja Galuh, berupa kewajiban untuk memberikan
satu pikul terasi dari setiap rumah tangga nelayan, menunjukkan pentingnya
terasi dalam kehidupan masyarakat Lemah Wungkut dan juga pengaruhnya terhadap
perekonomian kerajaan. Meskipun kebijakan ini mungkin terasa memberatkan bagi
sebagian orang, hal ini turut membuktikan bahwa terasi telah menjadi komoditas
utama yang mampu memperkuat ekonomi wilayah tersebut. Terasi yang sebelumnya
hanya dihasilkan secara terbatas dan untuk konsumsi lokal, kini telah menjadi
produk yang dianggap memiliki nilai ekonomi tinggi. Kebijakan ini juga dapat
dianggap sebagai bentuk pengakuan terhadap usaha para nelayan dan pengolah
terasi yang telah bekerja keras untuk menghasilkan produk yang bernilai dan
memperkenalkan budaya serta kearifan lokal kepada dunia luar. Dengan begitu,
terasi bukan hanya sekadar produk olahan dari udang rebon, tetapi juga bagian
dari identitas budaya yang terus berkembang seiring dengan perjalanan waktu.