Hilangnya "Ka-Daek": Refleksi Peran Ibu di Era Modern Bagian 1

 

Hilangnya "Ka-Daek": Refleksi Peran Ibu di Era Modern

Oleh: Sumarta

Pidato Kang Dedi Mulyadi Bikin Ibu-ibu PKK

 di Depok 11 Maret 2025

Sumber: Infokabinetdanparlemen




Dalam sebuah era yang serba cepat dan instan, kita sering kali melupakan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya. Salah satu nilai yang tampaknya semakin pudar adalah semangat "ka-daek" yang melekat pada sosok ibu, khususnya di kalangan masyarakat Jawa Barat. "Ka-daek" yang dalam bahasa Sunda berarti kemauan atau semangat, kini seolah tergerus oleh gaya hidup modern yang serba praktis.

Generasi yang beruntung adalah mereka yang lahir di era 70-an dan 80-an. Di masa itu, ibu memiliki peran sentral dalam keluarga. Mereka mampu mengurus belasan anak tanpa bantuan asisten rumah tangga, bahkan turut serta mencari nafkah. Mereka hidup dalam kesederhanaan, tanpa blender, pengering rambut elektrik, atau mesin pembuat kue otomatis. Namun, justru dalam kesederhanaan itulah kebahagiaan sejati ditemukan.

Ikatan emosional antara ibu dan anak terjalin kuat, tanpa gangguan gawai atau media sosial. Ibu adalah sumber kasih sayang, tempat berlindung, dan guru pertama bagi anak-anaknya. Ketika anak sakit, doa seorang ibu adalah obat yang paling mujarab. Ketika anak berprestasi, senyum seorang ibu adalah penghargaan yang paling berharga.

Namun, apa yang terjadi di era modern ini? Anak-anak seolah kehilangan sosok ibu yang hangat dan penuh perhatian. Mereka lebih sering melihat ibu mereka sibuk dengan gawai, terputus dari dunia nyata. Kasus anak tenggelam karena ibu bermain ponsel adalah contoh nyata dari hilangnya kepekaan seorang ibu.

Negara kita, Indonesia, diibaratkan sebagai Ibu Pertiwi, tanah yang subur dan kaya. Di tanah Sunda, tanah Pajajaran, tanah Jawa Barat, tanah disebut sebagai Sunan Ambu, artinya Ibu. Ini menandakan betapa luhurnya peran ibu dalam kehidupan kita.

Jika seorang pemimpin ingin sukses, maka ia harus memiliki sifat keibuan. Ia harus memperlakukan tanah airnya seperti seorang ibu memperlakukan anaknya, dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab. Ia harus menjaga dan merawatnya, bukan mencemarinya atau menyakitinya.

Dalam mengelola keuangan negara, kita pun dapat belajar dari kearifan seorang ibu. Ibu yang cerdas mampu mengatur keuangan keluarga dengan baik, bahkan dalam kondisi yang serba terbatas. Ia mampu memprioritaskan kebutuhan dasar anak-anaknya, seperti pendidikan dan kesehatan, di atas keinginan-keinginan yang bersifat konsumtif.

Prinsip "saetik mahi, loba nyesa" (sedikit cukup, banyak sisa) adalah kunci dari pengelolaan keuangan yang bijak. Ibu mampu berkreasi dengan bahan-bahan sederhana untuk menciptakan makanan bergizi bagi keluarganya. Ia tidak mudah tergoda oleh tawaran-tawaran konsumtif yang hanya akan membebani keuangan keluarga.

Namun, di era modern ini, kreativitas ibu seolah terhambat. Mereka lebih memilih untuk membeli makanan instan atau memesan makanan dari luar, daripada memasak sendiri. Mereka lebih memilih untuk memberikan uang jajan kepada anak-anaknya, daripada mengajarkan mereka untuk menabung atau berkreasi dengan barang-barang bekas.

Negara memang memiliki tanggung jawab untuk mengatasi kemiskinan dan stunting. Namun, negara juga perlu mendorong masyarakat untuk mandiri dan kreatif. Bantuan sosial tidak boleh membuat masyarakat menjadi ketergantungan. Mereka harus didorong untuk mengembangkan potensi diri dan mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi.

Hilangnya "ka-daek" dari kaum ibu adalah sebuah kerugian besar bagi bangsa ini. Kita perlu mengembalikan semangat juang dan kreativitas ibu, agar mereka dapat kembali berperan sebagai pilar utama dalam membangun keluarga dan bangsa yang kuat.

Kita perlu menciptakan lingkungan yang mendukung peran ibu, baik di rumah maupun di masyarakat. Kita perlu memberikan mereka akses terhadap pendidikan, pelatihan, dan sumber daya yang mereka butuhkan untuk mengembangkan potensi diri.

Dengan demikian, kita dapat membangun generasi penerus yang cerdas, berkarakter, dan berdaya saing. Generasi yang tidak hanya mengandalkan bantuan dari orang lain, tetapi juga mampu menciptakan solusi bagi permasalahan yang mereka hadapi.

Semangat "ka-daek" adalah warisan berharga yang harus kita jaga dan lestarikan. Semangat ini adalah kunci untuk membangun Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel