Ironi Kehidupan di Pinggiran Bekasi: 15 Orang Tinggal di Rumah Negara, Pendidikan Terhenti di SD
Ironi Kehidupan di Pinggiran Bekasi: 15 Orang Tinggal di Rumah
Negara, Pendidikan Terhenti di SD
![]() |
Gubernur Jawa Bart Terpilih Kang Dedi Mulyadi Satu
Gubuk Reyot Di Tanah Negara Diisi 15 Orang | Kisah Pilu Warga Babelan
Sumber: Youtube Kang Dedi Mulyadi Channel |
INDRAMAYUTRADISI.COM - Sebuah ironi kehidupan
terlihat jelas di pinggiran Kota Bekasi. Di sebuah rumah yang berdiri di atas
tanah negara, 15 orang berbagi atap yang sama. Mereka adalah keluarga besar
yang terpaksa pindah dari Jakarta Utara karena tempat tinggal mereka akan
digusur untuk pembangunan rumah susun. Kini, mereka kembali menempati tanah
negara, sebuah lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.
"Kami pindah dari Jakarta karena rumah kami
mau dibongkar buat rumah susun. Tadinya juga tinggal di tanah negara, pindah ke
sini juga tanah negara lagi," ujar seorang ibu yang enggan disebutkan
namanya, saat ditemui oleh seorang pejabat yang melakukan inspeksi mendadak ke
lokasi tersebut.
Rumah yang mereka tempati sangat sederhana, bahkan
terkesan kumuh. Kondisi ini diperparah dengan jumlah penghuni yang sangat
banyak, terdiri dari beberapa keluarga yang merupakan saudara dan kerabat.
Mereka tidur berdesakan di ruangan yang sempit, tanpa ventilasi yang memadai.
"Di sini ada 15 orang. Sama ponakan, sama
adik juga ikut tinggal di sini," lanjut ibu tersebut.
Ironi tidak berhenti di situ. Di tengah kota
metropolitan yang gemerlap, anak-anak di rumah ini terpaksa putus sekolah.
Sebagian besar dari mereka hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat sekolah
dasar (SD). Alasan klasik, biaya, menjadi penghalang utama bagi mereka untuk
melanjutkan pendidikan.
"Anak saya cuma tamat SD. Mau sekolah SMP,
tapi kan kadang-kadang uang ujiannya bayar juga. Akhirnya nggak sekolah,"
keluh ibu tersebut.
Salah satu anak perempuan di rumah itu, yang
seharusnya sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), kini hanya
berdiam diri di rumah. Usianya sudah 19 tahun, terlalu tua untuk kembali ke
bangku SD, namun terlalu muda untuk tidak memiliki bekal pendidikan yang cukup.
"Ini anak saya, tamat SD saja. Sekarang
tinggal di rumah saja, bantu-bantu," ujar ibu tersebut.
Kondisi ini sangat memprihatinkan. Di tengah
upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, masih ada
anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena keterbatasan ekonomi. Mereka
adalah generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama
untuk meraih cita-cita.
Selain masalah pendidikan, keluarga ini juga
menghadapi masalah ekonomi yang pelik. Sebagian besar dari mereka bekerja
sebagai buruh serabutan atau pedagang kecil. Penghasilan mereka tidak menentu,
bahkan ada yang mengaku tidak digaji selama tiga tahun.
"Suami saya kerja di pasar, jadi tukang
parkir. Kadang ada yang bilang 3 tahun nggak digaji, tapi itu nggak benar. Dia
cuma tukang parkir di desa," jelas ibu tersebut.
Kondisi ini diperparah dengan masalah sanitasi
dan kebersihan lingkungan yang buruk. Rumah mereka berada di daerah rawan
banjir. Setiap kali hujan deras, rumah mereka selalu terendam air. Mereka
terpaksa mengungsi ke balai desa untuk sementara waktu.
"Kalau banjir, airnya bisa sampai segini
(menunjuk dada). Kita terpaksa ngungsi ke balai desa," ujar ibu tersebut.
Pejabat yang melakukan inspeksi prihatin dengan
kondisi keluarga ini. Ia berjanji akan mencari solusi untuk membantu mereka.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah membangun rumah panggung untuk
mengatasi masalah banjir.
"Ini kan tanah negara, nanti kita bangunin
rumah panggung. Mau nggak rumahnya panggung?" tanya pejabat tersebut.
Selain itu, pejabat tersebut juga berjanji akan
membantu anak-anak di rumah itu untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Ia
akan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk mencari solusi agar mereka bisa
kembali bersekolah.
"Ini anak-anaknya harus sekolah. Nanti
kita cari solusinya, biar mereka bisa sekolah lagi," janji pejabat
tersebut.
Kisah keluarga ini adalah potret buram
kehidupan di pinggiran kota. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang
terpinggirkan, yang membutuhkan perhatian dan bantuan dari pemerintah. Mereka
adalah bukti bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Editor
Sumarta