Tradisi Fenomena PARCOK dan Dinamika Politik di Lingkungan Kepolisian
Fenomena "Parcok" dan Dinamika Politik di Lingkungan Kepolisian
Hermawan Sulistyo (Penasehat Ahli POLRI Bidang Politik)
dokumen diambil dari 2045 TV
Dalam setiap kontestasi politik, isu keterlibatan aparat keamanan, khususnya kepolisian, selalu menjadi sorotan. Isu "parcok" atau "partai coklat" menjadi istilah yang ramai diperbincangkan dalam Pilpres terakhir, menyoroti peran Polri dalam dinamika politik nasional.
Asal Mula Istilah "Parcok"
Istilah
"parcok" sendiri dipopulerkan oleh media dan beberapa analis politik
untuk menggambarkan keterlibatan oknum kepolisian dalam mendukung kandidat
tertentu. Istilah ini diperkirakan berasal dari laporan investigasi yang
menggambarkan bagaimana beberapa perwira kepolisian diduga memiliki
kecenderungan politik dalam pemilu.
Menurut
narasumber yang dekat dengan lingkungan kepolisian, isu ini mulai mencuat
ketika aparat dianggap tidak cukup melindungi tokoh tertentu yang sedang dalam
penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai contoh, dugaan bahwa
beberapa penyidik KPK yang berasal dari kepolisian tidak memberikan
perlindungan maksimal kepada seorang tokoh politik tertentu membuat spekulasi
mengenai "parcok" semakin berkembang.
Kepolisian dan Prinsip Diskresi
Dalam
wawancara dengan seorang pakar kepolisian, dijelaskan bahwa prinsip dasar dalam
Polri adalah "diskresi." Diskresi memungkinkan seorang aparat untuk
mengambil keputusan sendiri dalam batas hukum yang berlaku. Namun, keputusan
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun secara internal
di institusi mereka.
Hal ini
berarti bahwa jika seorang anggota kepolisian memilih untuk berpihak pada satu
kandidat tertentu dalam pemilu, maka dia juga harus siap menerima konsekuensi dari
pilihannya. Jika kandidat yang didukungnya menang, mungkin ada keuntungan
secara karier, tetapi jika kalah, kariernya bisa berakhir lebih cepat dari yang
diharapkan.
Struktur Kepemimpinan di Kepolisian
Kepolisian
memiliki sistem kepemimpinan yang sangat terstruktur dan berbasis meritokrasi.
Para perwira tinggi di Mabes Polri umumnya telah melalui pendidikan dan
pelatihan yang ketat, bahkan sebagian besar di antaranya merupakan lulusan dari
universitas ternama seperti Universitas Indonesia. Dengan latar belakang
pendidikan yang kuat, secara teori, keputusan yang diambil oleh para petinggi
kepolisian diharapkan tetap berada dalam koridor profesionalisme.
Namun,
karena kepolisian tidak memiliki "komandan langsung" sebagaimana TNI,
maka yang menjadi atasan kepolisian adalah hukum itu sendiri. Ini berarti bahwa
setiap anggota kepolisian yang melanggar hukum dapat ditindak, bahkan oleh
bawahannya sendiri. Salah satu contoh nyata dari prinsip ini adalah kasus penangkapan
Susno Duadji, seorang perwira tinggi Polri yang ditangkap oleh anak buahnya
sendiri karena dugaan pelanggaran hukum.
Keterlibatan Oknum dan Politisasi Institusi
Meskipun
secara formal kepolisian dilarang terlibat dalam politik praktis, kenyataannya
sulit untuk meniadakan intervensi dari berbagai pihak. Dalam diskusi yang
berkembang, ada anggapan bahwa di tingkat bawah, fenomena "parcok"
ini lebih terasa. Beberapa oknum di tingkat Polsek, Polres, atau Polda mungkin
memiliki kepentingan tersendiri dan mencoba mencari keuntungan dari situasi
politik.
Namun,
keterlibatan ini cenderung bersifat fragmental dan tidak tersentralisasi. Tidak
ada satu komando dari pimpinan tertinggi yang menginstruksikan seluruh
kepolisian untuk berpihak ke salah satu kandidat. Hal ini membuat fenomena
"parcok" lebih terlihat sebagai strategi individu daripada kebijakan
institusional.
Dinamika Pergantian Kapolri
Dalam
setiap pergantian kepemimpinan nasional, posisi Kapolri juga kerap menjadi
perbincangan. Beberapa analis berpendapat bahwa siapa pun yang menjabat sebagai
Kapolri harus mampu menjaga keseimbangan antara profesionalisme dan tekanan
politik. Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah apakah kepemimpinan
Polri ke depan akan tetap mempertahankan pola "parcok" atau akan
berupaya membersihkan institusi dari citra tersebut.
Beberapa
sumber menyebutkan bahwa penunjukan Kapolri sangat bergantung pada situasi
politik yang berkembang. Jika pemerintahan yang baru merasa perlu untuk
melakukan restrukturisasi besar-besaran, maka bukan tidak mungkin akan ada
perubahan signifikan dalam pola kepemimpinan Polri.
Kesimpulan
Fenomena
"parcok" mencerminkan dinamika kompleks antara kepolisian dan politik
di Indonesia. Meskipun secara aturan kepolisian tidak boleh berpolitik,
realitas di lapangan menunjukkan bahwa individu-individu di dalamnya tetap
memiliki preferensi politik yang bisa memengaruhi kebijakan dan tindakan
mereka.
Ke depan,
tantangan bagi institusi kepolisian adalah bagaimana menjaga netralitas dan
profesionalisme di tengah tekanan politik yang terus berkembang. Reformasi di
tubuh Polri menjadi hal yang mutlak dilakukan untuk memastikan bahwa kepolisian
tetap menjadi institusi yang independen dan tidak terjebak dalam permainan
politik praktis.
Editor
SM Indramayu tradisi